CirebonersID – Peristiwa kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Olly Siti Soekini atau lebih dikenal Olly Sastra menjadi orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di Cirebon.
Sehari sebelumnya, usai mendengar kabar dari sebuah radio perihal upacara kemerdekaan, Olly langsung menjahit sendiri bendera merah putih dan mengibarkannya di halaman Gedung Djawa Hokokai Jalan Pekalipan No 106.
Dengan keberaniannya, ia nekat menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan bendera merah putih.
Akan tetapi, apa yang dialami Olly tidak berjalan mulus. Usai bendera merah putih berkibar, para tentara Jepang sempat memukul, menjambak serta menendang Olly, hingga hampir membakar bendera.
“Saat itu, tentara Jepang mengatakan bahwa kemerdekaan itu pemberian saya, jadi direbutlah. Makanya itu bekasnya bolong-bolong,” kata Indra Ratna Esti Handayani, anak Olly Sastra di kediamannya, Rabu (14/8/2024).
Bendera itu, menjadi salah satu peninggalan ikonik Olly Sastra yang kini tampak kusam dan berlubang, serta terdapat sejumlah bekas robekan di beberapa bagian.
Benda itu disimpan rapi dengan arsip-arsip lainnya, baik berupa foto, dokumen asli tulisan Olly dan Soekarno, serta sebuah mesin tik yang kerap digunakan Olly Sastra kala itu.
Pasca kemerdekaan, Gedung Djawa Hokkokai yang dulunya markas Jepang diubah menjadi Panti Pendidikan Anak (PPA) yang menampung anak-anak korban perang agar dapat merasakan pendidikan.
“Selain itu, para ibu-ibunya diajarkan membaca agar bebas buta huruf, dikasih keterampilan juga, seperti tata rias penganten dan tata boga,” tuturnya.
Olly Sastra, lahir di Cirebon pada tanggal 12 Januari 1925. Semasa hidupnya ia dedikasikan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan pemenuhan akses pendidikan bagi setiap orang.
Sebagai salah satu pejuang kemerdekaan, Olly memiliki sifat tegas, pantang menyerah, dan pemberani. Bahkan, ia memiliki julukan srikandi Cirebon.
Sejak remaja, ia telah aktif dalam gerakan kepanduan (pramuka) di Cirebon dan giat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Selain itu, ia juga dikenal sebagai sosok yang multitalenta.
“Mungkin karena pergaulannya, ya, Ibu menguasai bahasa Belanda, Perancis. Kalau ngomong pake itu, kita juga enggak ngerti,” tutur Esti.
Kini, seluruh peninggalan tersebut berada di sebuah rumah berarsitektur lawas di Jala Pagongan No 114 Kota Cirebon. Tepat di ujung persimpangan antara Jalan Prujakan, Pagongan dan Sukalila Selatan. (Rifki)