CirebonersID – Perubahan nama Gedung Negara menjadi Bale Jaya Dewata oleh Gubernur Jawa Barat KDM belum lama ini menimbulkan reaksi publik di Cirebon. Namun, di balik polemik itu, nama “Jaya Dewata” sendiri menyimpan jejak historis yang panjang dan sarat makna, khususnya dalam narasi besar sejarah tatar Sunda dan Cirebon.
Siapa Jaya Dewata?
Jaya Dewata adalah nama kecil dari Sri Baduga Maharaja, raja besar dari Kerajaan Sunda yang memerintah sekitar abad ke-15. Ia lebih dikenal masyarakat luas sebagai Prabu Siliwangi—tokoh yang begitu lekat dengan cerita rakyat, babad, dan legenda di tanah Sunda.
Menurut sumber sejarah seperti Carita Parahyangan dan naskah-naskah kuna lainnya, Jaya Dewata dikenal sebagai pemimpin yang adil, bijak, dan membawa masa keemasan bagi Kerajaan Sunda, khususnya di Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang). Di bawah pemerintahannya, stabilitas politik dan kemajuan kebudayaan berkembang pesat.
Keterkaitan dengan Cirebon
Meskipun Jaya Dewata berkuasa di Pakuan, sejarahnya tak bisa dilepaskan dari Cirebon. Salah satu tokoh penting dalam sejarah Cirebon, yaitu Pangeran Cakrabuana (putra dari Prabu Siliwangi), merupakan penerus yang menyebarkan pengaruh Pajajaran ke arah timur, termasuk wilayah pesisir Cirebon.
Cirebon, kala itu, menjadi titik temu berbagai budaya: Sunda, Jawa, Islam, dan Tionghoa. Dalam perkembangan sejarahnya, wilayah ini kemudian lepas dari kekuasaan Pajajaran dan berkembang menjadi Kesultanan Islam pertama di tanah Sunda. Namun benang merah antara Cirebon dan Pajajaran tetap terjaga melalui ikatan darah dan budaya.
Makna Simbolik “Jaya Dewata”
Secara etimologis, nama “Jaya Dewata” bermakna “kemenangan para dewa” atau bisa juga dimaknai sebagai “raja yang membawa kejayaan spiritual dan duniawi.” Nama ini bukan sekadar gelar, tapi simbol dari kejayaan lokal yang berakar kuat pada nilai-nilai luhur kepemimpinan, ketertiban, dan keadilan.
Dalam konteks penamaan Gedung Negara menjadi Bale Jaya Dewata, bisa jadi ada upaya untuk menghidupkan kembali narasi sejarah lokal yang lebih luas. Namun di sisi lain, muncul kritik bahwa penggantian nama tanpa keterlibatan publik berpotensi mengabaikan identitas dan memori kolektif warga Cirebon itu sendiri.
Menimbang Sejarah, Menghormati Konteks
Sejarah tidak berdiri sendiri. Ia hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat yang mewarisi jejak masa lalu. Nama “Jaya Dewata” memang memiliki nilai historis tinggi, namun penggunaannya dalam ruang publik semestinya melibatkan pertimbangan historis, kultural, dan sosial secara utuh.
Alih-alih sekadar mengganti nama, pelestarian nilai sejarah sejatinya terletak pada bagaimana tokoh seperti Jaya Dewata dipahami, dikenang, dan dihidupkan dalam keseharian masyarakat. Dan di situlah pentingnya keterbukaan dialog antara kebijakan dan ingatan publik.