Cireboners.id – Kemunculan gerakan keagamaan yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara seperti Khilafatul Muslimin menjadi sorotan publik.
Sejumlah tokoh pun menyampaikan pendapat tentang bahaya paham radikal yang menjamur di Tanah Air melalui webinar yang diselenggarakan Indonesia Future Forum (IFF) yang bertajuk Khilafatul Muslimin: Lembar Merah Moderasi Beragama di Indonesia, Sabtu (24/6/2022).
Founder Indonesia Future Forum (IFF), Arif Fadilah menyampaikan, kemunculan organisasi Khilafatul Muslimin di ruang publik menjadi masalah proses moderasi beragama di Indonesia. Sebab, gerakan organisasi radikal semacam itu bukan kali pertama muncul.
Dia menegaskan, kondisi ini menandakan bahwa Indonesia sedang terjangkit virus radikalisme agama. Menurutnya, paham radikal berbasis gerakan keagamaan bukan saja diputus, melainkan juga harus mencabut akar masalah paham Radikal itu tumbuh subur.
“Ini menjadi masalah yang besar yang harus ditangani secara serius, bukan hanya memotong dahan (gerakan radikal) akan tetapi harus mencabut akarnya agar tidak ada lagi kelompok yang mencoba memecah belah bangsa,” ujarnya.
Sementara itu, penulis buku Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah, Sofi Mubarok memaparkan, kelompok Khilafatul Muslimin jelas bagian dari gerakan ekstrimis. Hal itu bisa dilihat dari cara mereka menilai kelompok yang berbeda.
“Khilafatul Muslimin menilai orang yang berpemikiran Islam moderat itu kaum munafik. Propaganda mereka pun sudah jelas ingin mengubah ideologi bangsa menjadi ideologi agama. Mereka juga eksklusif, gemar mengkafirkan orang yang berbeda dengannya,” kata dia.
Wakil Kepala Bidang Hankam IKAL Lemhanas Strategic Centre/Direktur Internasional, Wibawanto Nugroho Widodo mengatakan, karakter ideologi radikal berpatokan terhadap sikap tidak mengakui terhadap Pancasila.
Dari hasil temuan risetnya, Wibawanto membenarkan bahwa ideologi radikal tidak berafiliasi dengan ormas Islam yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka, seperti NU dan
AMuhammadiyah. Sementara kelompok radikal membentuk komunitas tersendiri.
Dia juga menambahkan, ideologi merupakan bahan bakar mesin pembangunan bangsa di tengah persaingan global. Sehingga harus terus-menerus ditransformasikan tanpa mengubah esensi dan eksistensialisme.
“Harus dibedakan antara ideologi sebagai mitos-propaganda, sebagai framing, paradigms, discourses, dan narratives dengan ideologi sebagai filsafat dan implementasi kebijakan publik.” Tegas Wibawanto.