DakwahRamadan

Daya Tarik dan Keistimewaan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Peninggalan Sejarah di Cirebon

×

Daya Tarik dan Keistimewaan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Peninggalan Sejarah di Cirebon

Share this article

CirebonersID – Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan salah satu masjid bersejarah di Cirebon yang memiliki daya tarik dan keistimewaan tersendiri.

Masjid ini menjadi saksi bisu perkembangan Islam di wilayah tersebut dan hingga kini tetap menjadi ikon religius bagi masyarakat setempat.

Masjid ini dibangun pada tahun 1498 Masehi atau 904 Hijriah atas perintah Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon sekaligus salah satu anggota Walisongo.

Pembangunannya melibatkan berbagai ahli dari Kerajaan Demak, yang dikirim oleh Raden Patah. Salah satu tokoh penting dalam arsitektur masjid ini adalah Sunan Kalijaga, yang dipercaya sebagai perancang utama.

Pengurus DKM Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Udin mengatakan, pada awalnya, masjid ini dikenal dengan nama Masjid Pakungwati, karena lokasinya yang berada di depan Keraton Kasepuhan Cirebon.

Namun, seiring waktu, nama masjid berubah menjadi Masjid Sang Cipta Rasa, yang mencerminkan nilai spiritual dan kebudayaan yang kuat dalam proses pembangunannya.

Tradisi Adzan Pitu

Salah satu keunikan utama Masjid Sang Cipta Rasa adalah tradisi Adzan Pitu, yaitu tujuh muazin yang mengumandangkan azan secara bersamaan saat salat Jumat.

Tradisi ini dipercaya sebagai peninggalan Sunan Gunung Jati yang bertujuan untuk menguatkan syiar Islam di Cirebon.

“Masjid Sang Cipta Rasa ini memang memiliki keunikan tersendiri, terutama tradisi Adzan Pitu yang masih terus dijaga hingga sekarang. Tujuh muazin mengumandangkan azan secara bersamaan saat salat Jumat, dan ini sudah menjadi tradisi sejak zaman Sunan Gunung Jati,” ujar Udin, pengurus Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Tihang Tatal, Pilar Unik dari Kayu Jati
Masjid ini memiliki beberapa pilar penyangga yang terbuat dari kayu jati.

Namun, yang paling menarik adalah Tihang Tatal, yaitu pilar yang dibuat dari potongan-potongan kecil kayu jati yang disusun hingga membentuk satu tiang utuh.

Menurut cerita, Sunan Kalijaga membuat tihang ini sebagai simbol keberagaman yang tetap bersatu dalam kekuatan iman.

Bangunan masjid ini masih mempertahankan desain arsitektur kuno yang kental dengan unsur budaya Jawa dan Islam.

Tidak ada menara seperti masjid pada umumnya, dan bagian atapnya berbentuk limasan dengan struktur kayu tanpa paku.

Ornamen-ornamen ukiran khas Jawa juga menghiasi beberapa bagian masjid, menambah nilai seni dan sejarah pada bangunan ini.

“Salah satu daya tarik lainnya adalah tihang tatal, yaitu pilar yang terbuat dari potongan kayu jati kecil yang disusun hingga menjadi satu tiang utuh. Ini menunjukkan betapa tingginya kreativitas dan makna filosofi dalam pembangunan masjid ini,” tambahnya.

Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan sejarah Islam di Nusantara.

Keberadaan masjid ini menunjukkan peran penting para Walisongo dalam penyebaran Islam, terutama di wilayah Cirebon.

Selain itu, masyarakat sekitar percaya bahwa masjid ini memiliki nilai spiritual yang tinggi karena dibangun dengan melibatkan unsur kepercayaan dan rasa kebersamaan yang kuat.

Hal inilah yang menjadi alasan utama perubahan nama dari Masjid Pakungwati menjadi Masjid Sang Cipta Rasa, yang mencerminkan makna mendalam dari penciptaan dan perasaan religius yang menyatu dalam bangunan ini.

Sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia, Masjid Sang Cipta Rasa tetap menjadi destinasi religi yang menarik bagi wisatawan, baik dari dalam maupun luar daerah.

Keunikan arsitektur, sejarah panjang, serta tradisi yang masih terjaga menjadikannya sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan. (Miftah)